Laporan Human Rights Watch: Diskriminasi dan pelanggaran rasialis pada orang Papua ‘lebih banyak dan benar-benar kelihatan’ di pemerintahan Jokowi

ruraltelecon.org — Laporan terkini organisasi Human Rights Watch mengatakan diskriminasi dan penangkapan yang terjadi ke orang asli Papua sepanjang pemerintah Joko Widodo “benar-benar terlihat dan jumlah semakin banyak” dibanding zaman presiden sebelumnya.

Periset Human Rights Watch, Andreas Harsono, menjelaskan praktek itu terlihat saat aparatur meredam minimal 400 orang terkait dengan demo yang usai gaduh di Kota Jayapura, Papua, di akhir Agustus 2019–yang adalah buntut dari kejadian serangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.

Perlakuan diskriminasi dan penangkapan itu, ucapnya, tidak terlepas dari apa yang dikatakannya masalah rasisme yang dilanggengkan lewat banyak kebijakan Jokowi pada Papua.

Itu kenapa, menurut Andreas Harsono, presiden dipilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dianjurkan untuk menyaksikan masalah ini secara betul.

Langkah awal yang dapat diambil Prabowo, menurut HRW, diantaranya diawali dari melepaskan semua tahanan politik Papua dan memberi ganti rugi atas rugi yang mereka alami.

Sampai laporan ini diedarkan, faksi Presiden Jokowi atau Prabowo Subianto belum memberi respon atas pertanyaan yang diberi BBC News Indonesia.

Presiden Jokowi pada beberapa peluang menjelaskan dianya ialah presiden yang banyak berkunjung Papua dan Papua mendapatkan perhatian tinggi sepanjang kepimpinannya.

Apa isi laporan Human Rights Watch?
Laporan HRW dengan tebal 86 halaman ini berisi beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia yang tetap berjalan di Papua yang berakar pada diskriminasi rasial, kata periset Andreas Harsono.

Dimulai dari jumlahnya anak Papua tidak mendapat akses pendidikan yang ideal karena pemerintahan Indonesia tidak berhasil mengambil guru bekerja di situ, tingginya tingkat rasio angka kematian ibu dan bayi, sampai susahnya mahasiswa Papua cari rumah saat tempuh pendidikan di kampus di luar Papua.

Termasuk beberapa tindakan kekerasan pada orang Papua oleh aparatur.

“Dan semua itu tidak terlepas dari masalah rasialisme berkaitan tanah, rimba, dan sebagainya. Nyaris 99% lebih penangkapan orang Papua terkait dengan rasialisme,” tutur Andreas ke BBC News Indonesia.

Dalam laporan itu dirinci jika akar rasialisme di Papua tidak dapat dilepaskan dari sejarah integratif ke Indonesia pada 1969 yang dipandang tidak resmi sampai sekarang ini oleh beberapa aktivis Papua.

Pasalnya proses integratif itu meremehkan konsep “seseorang, satu suara”.

Sepanjang enam dasawarsa semenjak gabung dengan Indonesia, beberapa suara yang menuntut ada referendum atau penetapan nasib sendiri juga terus bergema dengan luas dan memacu banyak tindakan protes.

Salah satunya kasus besar yang dipacu oleh perlakuan rasial, menurut HRW, ialah kejadian serangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pada 16 dan 17 Agustus 2019.

Peristiwa itu berawal dari dakwaan penghancuran tiang bendera yang berada di muka asrama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *